Jumat, 25 Januari 2008

Ketika Pendidikan Menjadi Area Pasar Global

Oleh. Taryadi

….Suatu hari, di sebuah sekolah di Indonesia. Beberapa siswa tampak sedang berdiskusi tentang berbagai hal. Dari teknologi, hingga tren mode di pusat mode Paris, Prancis. Sesekali mereka menikmati kudapan ala Italia. Di bagian lain terlihat sekelompok siswa tampak asyik membuat rencana liburan musim panas ke berbagai kota besar di Eropa. Bahasa pengantar diskusi mereka adalah bahasa Inggris. Dan ketika seorang karyawan sekolah tersebut menaikan bendera Merah Putih, suasana tidak berubah sama sekali. Riuh, tanpa rasa khidmat dan suara megah Lagu Indonesia Raya…..

Pada belahan lain Indonesia, jutaan anak-anak usia sekolah nampak di jalanan. Mereka tidak tertampung dalam sebuah sistem pendidikan yang mahal.

Itulah deskripsi imajinatif suasana sekolah di Indonesia beberapa tahun yang akan datang. Suasana sekolah yang nampak “made in” luar negeri itu akan menjadi keniscayaan, setelah munculnya regulasi yang memungkinkan sektor pendidikan menjadi area pasar global. Pelan tapi pasti, dunia pendidikan di Indonesia akan dimasuki oleh pemain manca, yakni lembaga-lembaga pendidikan asing. Mereka menawarkan berbagai program pendidikan yang menarik dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Biaya mahal sudah pasti, mutu bagus belum tentu.

Persoalan pendidikan yang sudah carut marut oleh berbagai masalah kian buram saja dalam sudat pandang rakyat. Ketika anggaran dua puluh persen dari APBN dan APBD sebagai amanat konstitusi belum juga berhasil diimplementasikan negara untuk kebutuhan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, tiba-tiba kita kembali dikejutkan oleh munculnya Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 yang memasukkan pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi, dan pendidikan non formal sebagai bidang usaha terbuka untuk penanaman modal asing dengan penyertaan modal maksimum 49 persen. Batas investasi modal asing maksimal 49 persen tersebut merupakan angka yang cukup tinggi dan berpotensi mengacaukan pendidikan Indonesia secara menyeluruh.

Agenda Liberalisasi

Siapa pun dapat menebak bahwa konstruksi berpikir di balik Perpres tersebut adalah pemerintah hendak mengurangi beban tangungjawabnya terhadap penyelenggaraan pendididikan di Indonesia. Dan yang mengerikan, yang dimaksud dengan penyelenggaraan pendidikan di sini tidak semata-mata meliputi aspek pembiayaan, tetapi juga menyangkut aspek yang paling krusial, yakni perumusan norma dan kurikulum.

Maka bisa terbayangkan deskripsi suasana di atas akan segera hadir, ketika pihak asing hendak membuka institusi pendidikan formal di Indonesia, yang meliputi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Dasar, Menengah, hingga Perguruan Tinggi. Sektor pendidikan sebagai sebuah usaha jasa, yang akan mendatangkan keuntungan luar biasa. Beberapa dari lembaga pendidikan asing itu akan datang dengan berbekal capital besar, fasilitas lengkap, dan kurikulum internasional. Mereka siap meraup calon siswa anak-anak Indonesia, yang orang tuanya gemar dengan prestige dan semua yang berbau import. Sebagian lain akan memakai pola menggandeng mitra lokal, lembaga pendidikan di Indonesia yang telah ada. Bisa dipastikan bahwa lembaga pendidikan lokal pasti akan merasa tersanjung jika ada tawaran kerjasama dari pihak asing, apalagi jika tawaran tersebut berasal dari institusi pendidikan yang memiliki reputasi Internasional.

Yang paling celaka, jika mitra lokal pihak asing yang hendak mendirikan institusi pendidikan formal tersebut hanyalah sebuah lembaga pendidikan boneka. Maka sadar atau tidak, pemerintah telah menyediakan jalan yang legal bagi pihak asing untuk mengambilalih otoritas pendidikan di Indonesia. Bukankah tidak sukar memprediksi akan tiba saatnya lembaga pendidikan Lokal akan mati pelan-pelan karena kalah bersaing dengan lembaga pendidikan yang disokong oleh pihak asing.

Pada akhirnya bisa dibayangkan, suatu saat kita akan melihat institusi-institusi pendidikan formal kita, mulai dari PAUD hingga PT, semuanya akan mengabdi dan berorientasi kepada pihak asing. Lalu, jangan heran akan muncul generasi yang merasa asing dengan budaya dan negerinya sendiri. Dan jangan pula kaget akan lahir pribadi dengan casing Melayu tetapi isi otak seluruhnya Non Melayu.

Tetapi mungkin yang paling lucu dengan konsekwensi dari perpres tersebut adalah kita akan melihat situasi di mana berbagai perusahaan pendidikan asing saling berlomba di Indonesia untuk merekrut anak-anak Indonesia sebanyak-banyaknya. Indonesia akan menjadi arena perdagangan yang riuh bagi kaki tangan-kaki tangan negara-negara asing tersebut. Dan, di antara perusahaan-perusahaan pendidikan asing tersebut, tidak hanya berasal dari Amerika, Eropa, Kanada, Malaysia, Australia, tetapi juga dari Singapura dan China. Dalam situasi seperti itu, masihkah kita menggantungkan harapan tentang pendidikan yang terjangkau dan bervisi nasional?

Maka benar apa yang dikatakan oleh Prof Dr Sofian Effendi MPIA, mantan Rektor UGM Yogyakarta bahwa dengan disahkannya Peraturan Presiden 77/2007, sadar atau tidak, pemerintah telah merombak total paradigma pendidikan nasional. "Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai kewajiban konstitusional pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diamanatkan UUD 1945,"

Pangsa pasar potensial

Negeri ini, sekali lagi tidak bisa menghindar dari kepentingan negara-negara maju yang melihat dunia pendidikan Indonesia sebagai pasar yang luar biasa untuk mengeruk keuntungan. Saat ini di Indonesia ada sekitar 103 juta penduduk usia sekolah (PUS) yang merupakan pasar menggiurkan.

Negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika memang mendapat kontribusi cukup tinggi dari sektor pendidikan. Pada tahun 2000 ekspor pendidikan Amerika mencapai sekitar Rp 126 triliun dan Inggris mencapai 4 persen dari total penerimaan sektor jasa. Hal inilah yang mendorong negara-negara maju sangat getol dalam mendorong liberaliasi dunia pendidikan di Indonesia.

Dalam konteks pendidikan rakyat, kebijakan liberalisasi dunia pendidikan jelas tak segaris dengan cita-cita perjuangan untuk mengangkat harkat hidup dan martabat bangsa. Karena bisa dipastikan, sesuai dengan mekanisme pasar bebas, melambungnya biaya pendidikan akibat ketimpangan supply berbanding demand akan dimungkinkan sulit terbendung. Siapa pun pasti mafhum jika kaum pemilik modal tak ingin merugi. Bahkan, pendidikan sebagai proses pembudayaan dimungkinkan akan dikelola sebagaimana manajemen pabrik.

Nah, apa yang akan terjadi kemudian? Efek lebih lanjut dari kebijakan tersebut adalah berpuluh-puluh juta penduduk miskin di negeri ini akan termarjinalkan akibat tak kuasa mengakses pendidikan sebagai upaya melakukan mobilitas vertikal. Selain matinya pendidikan rakyat, nation and character building juga akan mengalami nasib serupa.

Maka suka atau tidak suka, keterjebakan sektor pendidikan dalam geliat kapitalisme tentu membutuhkan perlawanan signifikan. Liberalisasi dan privatisasi pendidikan tak boleh dibiarkan menggulung cita-cita kita sebagai sebuah bangsa. Komunitas pendidikan sebagai pihak yang paling berkepentingan harus terus menjadi pressure group, agar berbagai regulasi yang pro liberalisasi dunia pendidikan di negeri ini segera direvisi.

Di samping itu yang tidak kalah penting adalah bekerja keras mempersiapkan diri dengan memperbaiki mutu pelayanan dan memperkuat pondasi nasionalisme melalui pendidikan. Karena pada akhirnya persaingan global dalam dunia pendidikan tidak mungkin terelakan. (Guru IPS SMP Nasima)

Tidak ada komentar: