Minggu, 12 Agustus 2007

GURU DAN OTONOMI SEKOLAH

Reformasi pendidikan sebagai bagian dari reformasi kehidupan berbangsa dan bernegara telah cukup lama kita dengar gegap gempitanya. Diawali dengan diterapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Pembagian Wewenang antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Salah satu kewenangan yang turut bergeser di era reformasi adalah bidang pendidikan. Kewenangan penyelanggaraan pendidikan yang dulu sangat kental dengan pola-pola sentralistik bergeser menjadi kewenangan daerah, dengan segala implikasi dan pertimbangan kondisi serta kebutuhan daerah masing-masing.
Reformasi pendidikan juga membawa implikasi yang cukup konroversial, --yang ditandai dengan perdebatan pro dan kontra diberbagai seminar pendidikan—tentang penghapusan Ebtanas di tingkat sekolah dasar. Kemudian menyusul perdebatan tentang sistem seleksi penerimaan siswa di tingkat SLTP yang sampai hari ini masih menyisakan berbagai persoalan.
Benarkah reformasi pendidikan kita sudah memasuki titik terang keberhasilan? Agaknya masih terlalu dini untuk menjawab pertanyaan tersebut mengingat masih banyak parameter penentu keberhasilan yang belum tersentuh dalam perumusan kebijakan di bidang pendidikan.

Peran Guru
Menyitir pendapat seorang tokoh pendidikan Amerika Serikat, Jhon Goodlad, dalam Behind the Classroom Doors “Ketika para guru telah memasuki ruang kelas dan menutup pintu-pintu kelas, kualitas pembelajaran akan lebih banyak ditentukan oleh para guru,” maka nyata sekali bahwa peran guru yang profesional dan efektif merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam proses pendidikan. Ketika para guru telah memasuki kelas dan menutup pintu-pintunya, guru dapat melaksanakan apa saja di dalam kelas. Sosok guru yang profesional dapat menempatkan dirinya menjadi idola yang menarik perhatian bagi siswa sehingga proses pembelajaran berlangsung secara menyenagkan, efektif dan efisien. Meminjam istilah Mc. Cleland, guru mampu menularkan virus n-Ach (needs for achievement) atau kebutuhan untuk berprestasi, sehingga siswa melakukan aktivitas belajar tidak sekadar suatu tututan kewajiban tetapi siswa sudah berfikir bahwa belajar merupakan suatu tuntutan kebutuhan akan prestasi.
Namun sebaliknya, pada sisi lain guru juga bisa menjadi sosok yang menakutkan, membosankan, instruksif dan nyaris tidak bisa menjadi idola para siswa, karena model pembelajaran yang miskin kreativitas, menumpulkan daya nalar dan mengabaikan aspek afektif siswa. Hasilnya suasana pembelajaran manjadi mati, gairah untuk kegiatan diskusi-diskusi menjadi pudar dan siswa hanya menjadi obyek pembelajaran yang terperangkap dalam budaya formalistik.
Fenomena pembelajaran tersebut menunjuk pada satu figur penting dalam proses pembelajaran itu sendiri, yakni guru. Satu perkataan bijak menyebutkan “tak ada yang dapat berubah kecuali apabila guru berubah—profesionalitasnya--, karena hanya guru yang telah berubah yang dapat mengubah keadaan.” Jika kita melihat realitas dunia pendidikan kita yang masih carut marut dengan segala permasalahan yang seolah-olah tanpa jalan keluar, maka kita patut berintrospeksi, apakah kemampuan profesional yang menjadi syarat utama untuk mendorong berbagai perubahan sudah kita penuhi.
Namun instrospeksi akan berhenti hanya sebagai sebuah introspeksi, jika itikad dan dukungan dari pemerintah tak kunjung datang dalam menyikapi persoalan tersebut. Kemampuan profesional sebagian guru yang masih dipertanyakan tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang menempatkan guru dalam kelompok pasif yang diatur dalam berbagai parameter tradisional, yang diputuskan berlaku bagi semua guru dalam situasi yang bagaimanapun sepanjang zaman. Dalam pandangan Prof. Dr. Winarno Surakhmad, Mantan Rektor Universitas Jakarta, Kebijakan pemerintah yang hanya rajin mengubah dan mengubah kurikulum, tetapi tidak melakukan apa-apa untuk merubah kondisi kerja, sistem pembinaan dan perlakuan terhadap guru serta tingkat kesejahteraannya, hanya akan menjadi kebijakan yang sia-sia.
Kondisi ini semakin memburuk karena pemerintah tak juga menemukan problem solving yang paling tepat dalam bersikap terhadap guru, siswa dan sekolah swasta yang justru berjumlah dominan. Bayangkan jika di Kota Semarang saja untuk SLTP terdapat 122 sekolah swasta dengan jumlah guru sebanyak kurang lebih 2.160 orang berbanding dengan 40 jumlah sekolah negeri.
Berkaitan dengan upaya peningkatan kemampuan profesional para guru kebijakan yang sekali lagi bersifat menganak tirikan guru-guru di sekolah swasta nampak sangat transparan terlihat. Kesempatan mengembangkan kemampuan diri melalui berbagai penataran, kursus dan seminar-seminar sampai saat ini masih dimonopoli oleh para guru dari sekolah negeri. Dengan alasan anggaran, guru dari sekolah negeri menjadi prioritas, sedangkan guru dari sekolah swasta dikesampingkan. Bahkan untuk memperoleh akses informasi atas kegiatan-kegiatan yang menunjang peningkatan kemampuan dan profesionalitas guru, sekolah swasta dinomor sekiankan. Kebijakan tersebut kerap kali menuai protes, baik dari Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), maupun Paguyuban Kepala Sekolah Swasta (PKSS) namun ibarat pepatah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, kritik tinggallah sebagai kritik, perubahan kebijakan tinggal sebuah harapan.
Maka sembari berharap political will dari pemerintah untuk membenahi perlakukan terhadap para guru, khususnya guru swasta di semua segi kehidupan profesionalnya –karena faktor kualitas pembelajaran berkaiatan erat dengan profesionalitas tersebut— ada baiknya jika kita mulai dengan upaya mandiri dengan mengikuti secara serius dan ikhlas setiap denyut gejolak dunia pendidikan, melalui sarana perpustakaan, internet dan berbagai program pengembangan sumber daya manusia dengan kesadaran untuk meningkatkan profesionalisme.
Dalam pandangan Gary A. Davis dan Margaret Thomas, setidaknya ada empat hal yang harus ada pada diri seorang guru yang profesional. Pertama, memiliki kemampuan yang berkait dengan iklim belajar di kelas. Kemampuan ini berkait dengan keterampilan interpersonal seperti, empati, penghargaan dan ketulusan; Kedua, kemampuan strategi pembelajaran, keterampilan ini berkait dengan kemampuan mengaplikasikan model-model pembelajaran yang efektif-efisien dan menyenagkan siswa melalui inovasi-inovasi proses pembelajaran; Ketiga kemampuan yang berkait dengan pemberian umpan balik (feedback) dan penguatan (reinforcement) dan keempat kemampuan yang berhubungan dengan peningkatan diri, dengan memperluas pengetahuan dari berbagai sumber pengetahuan dan media informasi.

Otonomi Sekolah
Otonomi pendidikan sebagaimana ramai diperbincangkan banyak pakar pendidikan merupakan sebuah konsekwensi logis dari pemberlakukan keputusan otonomi daerah. Menurut saya otonomi pendidikan sebagai sebuah keputusan politis tak akan mampu melahirkan sebuah gagasan pembaharuan dalam usaha peningkatan mutu penidikan, tanpa diiringi kesadaran pentingnya otonomi sekolah. Dengan kata lain sebuah daerah yang telah melaksanakan sistem otonomi pendidikan di daerahnya, tidak dengan sendirinya kualitas akademik sekolah-sekolah di wilayah tersebut meningkat tanpa masing-masing sekolah tersebut diberi otonomi.
Otonomi sekolah berkait langsung dengan dengan upaya sekolah tersebut dalam meningkatkan kualitas akademiknya tanpa campur tangan dari pihak manapun kecuali BP3, POMG atau komite sekolah. Otonomi sekolah mampu mendorong terciptanya proses pembelajaran yang efektif-efisien dan menyenangkan. Dalam konteks inilah sekolah dan guru-guru mempunyai kebebasan untuk mengatur seluruh kurikulum. Dengan adanya kewenangan yang lebih besar terhadap sekolah untuk mengurus urusannya, efisiensi pemanfaatan sumber daya dan fasilitas melalui suatu keputusan bersama, akan muncul rasa tanggung jawab besar yang sangat kondusif bagi peningkatan mutu akademik sekolah.
Akhirnya dengan itikad baik semua pihak terutama andil serius dari pemerintah dalam memandang secara komprehensif semua permasalahan yang terjadi di lingkup dunia pendidikan, sangat terbuka harapan untuk secara bertahap membenahi kualitas pendidikan nasional. Namun sebaliknya Jika kewenangan sekolah dipasung dan kesejahteraan guru --tidak hanya guru negeri yang secara kuantitas lebih kecil dibandingkan dengan jumlah guru sekolah swasta-- tidak lebih baik dari buruh pabrik, jangan terlalu berharap kita bisa berbuat banyak. (Taryadi, SPd. Guru SLTP Nasima Semarang)



Tidak ada komentar: