Perjalanan ke Timur
Jawa – Bali – Lombok – Sumbawa Island
17 – 24 Januari 2004
Sabtu, 17 Januari 2004 - 11.47 WIB
Start Grand Marina, dengan tim : Tri Bekti Nasima (Tim Leader / Navigator), Sasmito Wibowo (Co Driver), Susi Nuryanti (Tiket lokasi wisata), Ani (umum), Bu Rini Sunarni (konsumsi), Pak Taryadi (penginapan) dan Pak Jan (Driver). Kondisi fisik semua anggota tim bagus, Psikis penuh semangat berpetualang menikmati Indonesia, tidak sekadar dari buku dan peta. Kondisi Mobil: VW Combi tahun 1979, juga tangguh lengkap dengan bed untuk cadangan jika tidak sempat menginap di Hotel. –kata Bekti ini juga bisa kita sulap jadi hotel, namanya Hotel Combi.
Melintasi rute Semarang – Purwodadi – Blora - Cepu: menyeberang Bengawan Solo, goodby propinsi kami tercinta: Jawa Tengah. Perjalanan berlanjut dengan melintasi wilayah kab. Bojonegoro. Waktu sudah menunjukan pukul 16. 30. Saatnya kami harus menjalankan shalat Dzuhur jama’ dengan ashar di Masjid Agung Kota Bojonegoro, setelah sebelumnya makan siang. Setengah jam kemudian Tim sudah kembali dijalanan Lamongan – Gresik dan Masuk Tol Surabaya dalam curahan hujan yang cukup deras. Malam terasa sejuk dalam guyuran hujan sampai tol Waru.
Masuk wilayah Kab. Pasuruan kurang lebih pukul 20.00 perjalanan berlanjut ke Probolinggo kemudian terasa jalanan menanjak di Lokasi Proyek PLTU Paiton –disekitar jalanan ini pernah terjadi kecelakaan maut yang merengut 52 siswa-siswi SMK Pemda bantul, kami beristigfar dam membaca doa untuk mereka. Masuk wilayah Situbondo, tim sudah mulai kelelahan dan tertidur. Waktu menunjukan pukul 22.30 WIB., kami putuskan untuk istirahat, shalat maghrib+isya dan makan malam di Rumah Makan Papin/Pasir Putih sambil menikmati suasana Pantai Utara Jawa yang damai.
Dari Situbondo perjalanan berlanjut melewati kota-kota kecil di wilayah Kab. Situbondo – Kab Banyuwangi, dengan menyisir pinggir pantai utara Jawa. Semua anggota Tim hampir-hampir semua tertidur, kecuali Pak Jan tentunya. Sampai ndak terasa sudah sampai di penyebarangan Ketapang – Gilimanuk pukul 02.15 WIB.
Minggu, 18 Januari 2004 – 03.20 WITA.
Very ASDP (angkutan sungai, danau, dan penyeberangan) mengantarkan kami menginjak Bumi Sejuta Pura, yang termasur dengan karunia alamnya yang eksotik hingga ke manca. Tepat waktu dikumandangkannya azan subuh jam menunjuk pada 03.40 WITA. Di Bali dan wilayah WITA lain, subuh datang lebih cepat dari wilayah lain di WIT. Seusai menunaikan shalat berjalanan berlanjut menyusuri Bali dengan segala keindahan alamnya.
Sedari awal Tim sudah bersepakat untuk menempuh rute yang tidak lazim ditempuh waisatawan yang menggunakan jasa Biro perjalanan yang biasanya menempuh rute “konvensional” : Gilimanuk – Negara – Tabanan - Denpasar. Tim lebih memilih jalur : Gilimanuk – Singaraja – Buleleng – Kubu - Padang Bai, yang sebenarnya sangat kaya dengan pemandangan alam yang luar biasa indah. Perjalanan awal melintasi Taman Nasional yang banyak dihuni bangsa primata. Pemandangan yang menakjubkan dapat kita nikmati di kanan kiri sepanjang perjalanan. Sisi kanan panorama Gunung Agung yang elok tanpa sejumputpun kabut –kebetulan cuaca teramat cerah--, dan sisi kiri bibir pantai laut Bali, yang berombak sedang dan sangat bersih. Rasanya tidak mungkin kami menjumpai pantai sebersih ini di sepanjang Laut Jawa. Dengan bekal Travel Map, Bekti, Navigator Tim sibuk membaca peta dan mengarahkan driver arah perjalanan yang mesti ditempuh. Akhirnya, setelah sempat “nyasar” atau lebih tepatnya kebablasan di Gowa Lawah –Lokasi wisata Gua di Pulau Bali yang banyak dihuni kelelawar, 5 km dari kelokan menuju penyebarangan Padang Bai--, Tim sudah siap menyeberang ke Pulau Lombok.
Kurang lebih pukul 11.30 WITA, Kapal very kami sudah bertolak dari Pelabuhan penyebarangan Padang Bai menuju Pulau Lombok. Semula kami mengira perjalanan menyebarang Selat Lombok hanya memakan waktu 2 jam kurang lebih. Tapi ternyata perjalanan ditempuh tidak kurang dari 5 jam. Kata orang sih, kondisi ombak selat Lombok cukup mempengaruhi laju kapal. Tapi perjalanan tetap bisa dinikmati, meski lautan tapi tak jarang kita bisa melihat pulau-pulau kecil di sekitarnya.
Pukul 16.30 WITA, Tim kami tiba di Pelabuhan Lembar, Pulau Lombok. Langit masih terang, namun begitu bias panas matahari sudah agak berkurang. Suasana lain mulai terasa. Kontras dengan suasana di Bali yang nyaris tidak ditemukan Masjid, memasuki Kota Lombok, sepanjang perjalanan bisa kita jumpai masjid, dan shalatlah kita disebuah masjid di pinggir Kota Lombok. Seusai shalat perjalanan tertunda, untuk menyaksikan sebuah ritual perkawinan adat Nusa Tenggara Barat, yang khas. Sang mempelai diiring berjalan dengan tetabuhan bernuansa etnis –kalau menurut saya pengruh gamelan Bali sangat terasa— layaknya sebuah karnaval. Saya rasa di Jawa Tradisi pengantin semacam ini sudah tidak ada. Walaupun dulu, seingat saya tradisi ngiring manten yang mirip karnaval semacam ini pernah ada di desa-desa di Jawa.
Maghrib tiba. Kami sudah mendapatkan hotel untuk melepaskan lelah setelah menempuh perjalanan panjang Jawa – Lombok. Mataram, saya tidak tahu persis sejarahnya mengapa dinamakan Kota Mataram, --nanti saya tanyakan ke Pak Ilyas deh--, tapi yang jelas kota ini kota muslim yang cukup religius. Masjid bertebaran dimana-mana, begitu juga pondok pesantren. Pertanyaan besar saya kota ini dan juga Nusa Tenggara Barat Umumnya-- di apit oleh Pulau Bali yang Hindu dan Nusa Tenggara Timur yang katolik.
Usai makan malam yang sangat menggairahkan –nasi goreng pedas khas Surabaya—kami kembali ke Hotel : main kartu remi sebentar kemudian tidur.
Senin, 19 Januari 2004 – 05.30 WITA.
Usai shalat subuh, jalan-jalan disekitar hotel, yang tak jauh dari jalan raya kota Mataram. Saya pikir kehidupan Kota Mataram tak jauh berbeda dengan kota-kota umumnya di Jawa. Kembali ke Hotel, sarapan pagi selembar roti bakar dan kopi, kami siap berkemas. Tim Leader kembali membuat briefing kecil tentang rencana kunjungan hari ini. Kembali dengan navigasinya kami mulai keluar dari kota Mataram, menuju kawasan Pantai Senggigi. Sepanjang perjalanan menyusuri Laut Lombok dan Pantai Senggigi –astaghfirullah—pemandangan yang sungguh-sungguh cantik. Kalau Bali punya Tanah Lot, Kuta dan Sanur, Lombok memiliki semua pesona keindahan pantai dan pemandangan laut yang jauh melebihi itu. Pantai yang sangat-sangat bersih, sampai-sampai warna dasar laut terlihat sangat jelas, ombak yang landai, dan terkadang berpadu dengan tebing-tebing hijau yang sangat elok. Sepanjang jalan juga banyak dijumpai Hotel, cafe dan Diving Club. Lepas dari Senggigi kami melanjutkan perjalanan ke Gili (pulau) Trawangan. Tim mencarter sebuah perahu tempel (perahu kecil dengan mesin disel 15 PK) seharga Rp. 175.000 dan menempuh perjalanan 25 menit. Sampai di Gili Trawangan jalan-jalan sebentar, sampai kemudian Bekti ingin mencoba keindahan bawah laut pantai di Gili Trawangan. Akhirnya kami menyewa masker dan “kaki katak”, Rp. 10.000/pasang dan kemudian terjun ke pantai.
Ini pengalaman pertama: Snorkling! Pada mulanya kesulitan menggunakan alat-alat snorkling yang sebenarnya sederhana. Belum lagi Bekti, --ternayata belum bisa berenang. Akhirnya dengan di pandu Pak Marjan, guide kami, pengalaman pertama snorkling kami berjalan sukses. Pemandangan bawah laut, dengan warna air laut yang sangat jernih menampilkan sebuah akurium raksasa yang maha luas: ikan-ikan hias yang beraneka ragam dan warna, besar kecil terpampang di kanan kiri kami. Terumbu karang yang masih sangat indah. Benar-benar pemandangan yang sangat luar biasa indahnya.
Tak heran banyak sekali, --bahkan bisa saya katakan dominan—turis-turis asing, terutama Eropa dan Amerika yang berkunjung di sini. Mereka berombongan naik Boat, dengan perlengkapan diving dan snorklingnya. Pengalaman yang lucu terjadi: Bekti yang asyik menikmati pemandangan bawah laut, tanpa sadar terbawa arus ke tengah. Padahal dia tidak pandai berenang. Nah...untungnya bahasa Inggrisnya bagus, “Help me, mom !”, katanya berteriak, begitu sadar dia terbawa arus agak ketengah, dan mendapati disekitarnya yang terdekat adalah seorang perempuan bule berbadan gendut. Dengan segera Bekti mendapat pertolongan. Dan apa kata si Bule tadi? Don’t to swim, if you can’t! –kira-kira begitulah.
Hampir 2 jam kami berendam di laut, dengan tubuh kecapaian akhirnya kami kembali menyeberang. Kembali ke Kota Mataram, perut sudah terasa sangat lapar. Makan siang dan shalat dzuhur jama’ ashar kemudian perjalanan berlanjut ke arah timur, ke pelabuhan penyeberangan Kayangan (Lombok) – Pototano (Sumbawa).
Lama waktu penyebarangan tidak lebih dari 2 jam. Di Kapal kami sempat bercakap akrab --layaknya saudara sedaerah yang bertemu ditanah seberang-- dengan mualim kapal, Kapten Sandy yang kebetulan asli Jalan Barito, Semarang. Sampai di seberang, masuk Alas, wilayah Pulau Sumbawa, kembali kami menempuh perjalanan darat selama 2 jam untuk sampai ke pusat kota Sumbawa Besar.
Waktu sudah menunjukan pukul 20.00 WITA, kami segera mencari Hotel untuk beristirahat. Hotel Dewi, di tengah Kota Sumbawa Besar menjadi pilihan kami. Murah dan kelihatannya cukup nyaman. Namun, setelah masuk ke dalamnya, kami sedikit kecewa lantaran air di bak mandi terlihat keruh. Dengan sedikit akal –disaring dengan taplak meja kamar hotel—akhirnya kami bisa dengan nyaman mandi hingga puas.
Selasa, 20 Januari 2004 – 07.30 WITA.
Setelah sarapan pagi yang disediakan hotel, secangkir kopi, sepotong roti dan sebutir telor matang kami lanjutkan rencana perjalanan. Dari informasi resepsionis hotel, kesan kami tentang Sumbawa Besar tidak banyak yang bisa di kunjungi. Satu-satunya pilihan adalah sebuah bendungan yang letaknya 6 km dari pusat kota. Namanya Bendungan Batu Bulan, konon baru-baru saja diresmikan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri. Sesampainya kami disana, seperti umumnya bendungan kami melihat hamparan air bendungan warna biru, kanan kiri masih terlihat gersang belum tertata optimal. Tak terlihat adanya sebuah rencana menjadikan lokasi ini sebagai sebuah objek dan aset pariwisata daerah setempat. Kesan saya, sangat berbeda dengan kondisi jika obyek itu terdapat di Pulau Jawa. Pada bagian lain, disebuah titik pandang, sepasang remaja terlihat sedang asyik masyuk memadu kasih, dan selebihnya adalah terik matahari yang terasa mulai menyengat.
Kembali ke jalan utama, petualangan berlanjut ke Kota Dompu. Sepanjang perjalanan terlihat hamparan tanah hijau dan subur, yang tidar terkelola secara optimal. Pak Jan berkomentar, “Seandainya saya disini saya mau tanami brambang atau apalah yang menghasilkan”. Naluri sebagai petani Jiken Blora yang berbicara. Saya sendiri heran dengan potensi yang sedemikian, kenapa tidak dimaksimalkan sebagai lahan pertanian. Dugaan sementara saya adalah : Sarana irigasi yang belum tersedia yang menyebabkan itu. Sekarang mungkin terlihat hijau karena kebetulan musim penghujan, tapi mungkin ketika musim kemarau tiba, akan terlihat gersang.
Tiba di Dompu, kami hanya singgah untuk makan siang dan shalat Dzuhur jama’ ashar dan langsung ke Kota Bima dalam guyuran hujan yang cukup lebat. Masuk ke wilayah Bima, kanan kiri jalan terlihat hutan dengan sesekali tampak gerombolan monyet yang siap menerima makanan yang dilempar para pejalan.
Masuk Kota Bima, menjelang Maghrib langsung mencari tempat menginap. Setelah keluar masuk hotel, hampir 2 jam akhirnya kami dapati Hotel Lila Graha tempat kami menginap. Kami habiskan waktu di kamar berempat, Bekti, Bowo dan saya – sementara Pak Jan tertidur—untuk bermain poker sampai jam 12.00 WITA.
Rabu, 21 Januari 2004 : 08.00 WITA
Esok harinya, kami berkunjung ke Museum Kota Bima, yang menyimpan koleksi sejarah Kerajaan Mbojo, yang kuat bercorak islam. Sayangnya kondisi bangunan museum yang tidak begitu terarawat, cukup mengganggu keindahan bangunan. Padahal di tempat itu Bung karno pernah menginap –kami sempat menilik ranjang tempat beliau menginap— pada saat awal-awal kemerdekaan, dimana Kerajaan tersebut, secara sukarela menggabungkan diri dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia.
Dari Bima, kami kembali ke Sumbawa Besar. Tak banyak yang bisa dinikmati, karena hampir semua anggota tim merasakan mual dan kepala pusing akibat makan malam bebek goreng semalam. Sampai akhirnya ke Sumbawa Besar dan langsung ke Potato untuk menyeberang ke Kayangan. Hari sudah mulai malam, dan perjalanan berlanjut menembus gelap malam di wilayah Lombok. Kota Mataram kami lintasi, dan akhirnya kami sampai kepelabuhan Lembar, siap menyeberang ke Padang Bai, Pulau Bali.
Kamis, 22 Januari 2004 : 05.00 WITA.
Tim Kami sudah berada di Padang Bai, untuk menikmati Bali yang diawal perjalanan hanya sempat kami lintasi. Dari Padang Bai langsung meluncur mendaki kaki Gunung Agung dan singgah di Pura Besakih, pura terbesar di Pulau Dewata. Kebetulan pasca Kuningan dan menjelang Galungan, sehingga suasana pura tampak ramai umat Hindu bersembahyang. Hari masing sangat pagi, dan praktis kamilah satu-satunya wisatawan pada hari sepagi itu. Tapi justru dengan demikian kami jadi lebih leluasa untuk mengambil gambar dan menyimak banyak hal tentang Besakih dari pemandu wisata lokal. Pura Besakih yang dibangun dengan memperhatikan konsep tata letak berdasarkan arah mata angin. Pura Besakih terdiri dari Pura untuk kasta brahmana, ksatria, waesya dan sudra. Di samping itu terdapat bangunan pura yang dikhususkan untuk upacara-upacara tertentu.
Sayang sekali, kabut mulai turun sehingga latar Gunung Agung yang indah tidak bisa terekam dikamera digital Bekti, yang antusias mengambil gambar-gambar di pura tersebut.
Dari Besakih, berjalanan berlanjut ke Kintamani yang berpanorama Gunung dan Danau Batur. Tim Leadar, memutuskan untuk turun ke Trunyan, 20 menit menyebarang dari bibir danau Batur. Trunyan merupakan satu kawasan hutan alam yang sangat unik. Sepengetahuan saya belum ada lokasi lain di dunia, yang seunik Trunyan, tempat mayat/jenazah dibiarkan tergeletak –tidak dikubur—dan ajaibnya tanpa menimbulkan bau sama sekali. Sayangnya pengelolaan kawasan wisata potensial ini kurang profesional. Setidaknya pengalaman kami, yang sempat “dipaksa” untuk memberikan uang yang kata orang-orang setempat untuk biaya perawatan lokasi, padahal kami sudah membayar lumayan mahal untuk carter boat dan masuk lokasinya.
Dari Kintamani, kami teruskan ke Denpasar. Makan siang di Rumah Makan Padang –kami hampir saja menjadi mahluk-mahluk lembah Andalas, gara-gara hampir sepanjang perjalanan selalu makan masakan Padang--, kemudian berlanjut ke Pantai Kuta. Sepanjang Jalan Legian, kami dapati banyak turis manca, yang turut menciptakan suasana kampung internasional di kawasan Bali. Sepengamatan saya, tragedi Bom Legian sudah mulai dilupakan orang, namun begitu dilokasi peledakan masih ada beberapa karangan bunga yang kelihatannya di pasang oleh turis dari eropa atau mungkin lebih pastinya Australia.
Jenuh dengan lalu lalang turis asing, Tim kami meneruskan perjalanan ke Pasar Seni Sukawati. Hari sudah sore, dan sebagian toko sudah tutup. Tidak banyak yang bisa kami dapatkan. Tapi dengan pertimbangan, besok harinya adalah hari raya Galungan (atau kuningan yah, lupa deh?) kami belanja sedapat-dapatnya.
Jumat, 23 Januari 2004 : 08.00 WITA.
Pagi hari yang cerah. Seusai skedul kami berniat nonton pementasan tari Barong. Ada kejutan besar di sini. Anggaran tiket masuk pertunjukan yang diplot Rp. 250 ribu, bisa disimpan sampai akhir pertunjukan. Pasalnya kami masuk ke lokasi pertunjukan berbarengan dengan rombongan biro tour dari Semarang dan Surabaya, dan kami dianggap rombongan tersebut. Penonoton penuh sesak, dan sedikit mengganggu suasana pementasan. Tari Barong, --menurut saya lebih tepat disebut sebagai teater rakyat—dibuka dengan munculnya tokoh Barong, berikutnya adegan demi adegan yang menggambarkan pertentangan antara kebaikan dan kejahatan, yang dimenangkan oleh unsur dharma atau kebaikan –setidaknya itu kesimpulan saya atas petunjukan itu, mengingat narasinya tidak saya pahami karena menggunakan Bahasa Bali--. Satu hal yang selalu membuat terkesan adalah, suasana pementasan yang terkesan mistis dengan iringan gamelan Bali yang rancak. Lebih-lebih ketika muncul dua orang penari Bali dalam gerak tubuh dan mata yang eksotis. Ini kali yang ketiga saya nonton tarian itu, dan tetap merindukan kali yang keempat, kelima dan seterusnya.
Kembali ke lereng Gunung Agung, Danau Bedugul dalam derai hujan yang renyai. Dan sebentar mereda dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Bekti dan Bowo untuk berjetski ria. Padahal suasana hujan dan lereng gunung dingin, tapi mereka memang sudah tahan dingin dan demam jetski, maka jadilah.... kami di pinggir danau menyaksikan sambil mengunyah jagung rebus hangat.
Dari Bedugul, perjalanan menikmati Bali mendekati akhir. Kira-kira pukul 14.00 WITA, kami menuju Tanah Lot, lewat Kab. Tabanan. Dan sejam kemudian kami sampai di Tanah Lot. Hal menarik di Tanah Lot adalah keberadaan subuah pura, sedikit ditengah pantai Tanah Lot. Kalau dilihat seksama, mirip sebuah lukisan silhuete yang bisa. Namun jangan bayangkan di lokasi ini senyap. Karena justru disinilah turis asing, terutama turis asia timur banyak bertebaran dalam kelompok-kelompok kecil.
Tibalah waktunya kami mengkahiri perjalanan kami di nusa-nusa indah Indonesia Raya. Tidak banyak hal yang menarik, karena kami lebih banyak terlelap, kecapaian. Lepas dari penyeberangan jam 20.00 WIB, langsung mengambil jalur Banyuwangi – Jember – Blitar : kami tempuh dengan lambat. Subuh baru kami tiba di Blitar, dan langsung diterima dengan baik oleh keluarga Mbah Maskur almarhum. Sarapan pagi dengan menu yang sangat kami rindukan: masakan jawa, dan ngopi pagi yang sangat nikmat. Selebihnya kemudian masing-masing dari kami tertidur. Dan pukul 12.30 WIB, usai shalat dzuhur kami ke makam almarhum mbah Maskur, ziarah dan diteruskan ke makam Bung Karna, Bapak Proklamator.
Kembali dalam guyuran hujan perjalanan diteruskan lewat Kediri - Madiun – Sragen – Surakarta - Boyolali dan masuk ke Semarang, finis di Grand Marina: kurang lebih pukul 22.00 WIB.
Alhamdulillah, kami sudah menuntaskan sebuah perjalanan panjang, yang sulit untuk dicarikan pembanding, jika tinjauannya adalah pengalaman batin, fisik, kognitif maupun psikomotor. Sampai diperjalanan berikutnya, kami se Tim menghaturkan Banyak Terima Kasih kepada Pendiri YPI Nasima, Bapak H. Yusuf Nafi’ yang “menantang” dan menyokong kami. (From : Catatan perjalanan, Taryadi and Team)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar